Tirai air mata Ibu

Kamis, 24 Januari 2013

"Ibu mencintai ayah?" Tanya Tiwi saat melihat ibunya menatap foto kenangan Tiwi bersama ayahnya.
"Sangat sayang. Ibu merindukan ayahmu." Jawab ibu sambil meneteskan air mata.
Sesak menjemput hati dan pikiran Tiwi. Mengingat semua tentang mereka. Menikmati kenangan tawa dan kebahagiaan yang selalu ayah berikan. Walau kini luka bagi ibu. Dan juga untuk Tiwi. Tumbuh dengan hanya kasih ibu sebagai orang tua tunggal.
"Ibu bersabarlah. Ayah pasti kembali."
"Ibu merindukan ayahmu, Tiwi. Tapi ibu tak mengharapkannya kembali."
"Kenapa ibu seperti ini? Apa ibu tak bisa memaafkan ayah? Ayah mencintai kita. Aku yakin ayah hanya berkesulitan untuk kembali bu."
"Kamu begitu mencintai ayah. Ibu tahu itu. Namun, ada banyak hal yang harus kamu mengerti. Suatu saat, kamu akan memahaminya. Bersabarlah."
Ibu berdiri dan mendekati menuju kamar mandi. Membersihkan air mata yang tak dapat kering, terus menetes deras bersama sakit yang dideritanya.
Ayahmu tak akan kembali. Ayahmu bukan ayahmu lagi, Nak. Rasa rindu kita. Tak akan membawanya kembali. Dia telah bahagia bersama lelaki yang Ia cintai. Maafkan ibu.

Kejengkelan berbuah manis (mungkin)

"Eh! Kamu! Cewek kutilan!" Teriak Dodi pada Nanda adik tingkatnya di Sekolah Menengah Atas dua tahun silam. Yang juga tetangganya sejak Ia pindah dari kota Lahat ke Palembang.
"Buntelan jengkol! Bau apek! Mampus yah kalo gak ngehina orang sehari aja!" Jawab Nanda jengkel.
"Belagu. Emang kutilan juga. Nih! Kutil kan?" Dodi mendekatkan tubuhnya ke Nanda sambil menyentuh sebuah jendolan hitam di hidung Nanda.
"Kutil! Enak aja. Ini tahi lalat hei!" Teriak Nanda pada telinga Dodi.
Lalu berlari meninggalkan Dodi begitu saja.
Dasar cewek aneh. Udah jelas kutil. Masih aja sok cantik. Ngomong-ngomong, si Kutil kenapa makin cantik aja yah? Bertemu dengannya setiap hari. Berhasil menambah tingkat kejengkelanku padanya. Seiring dengan rasa cintaku padanya. Bodoh. Andai Nanda bukan sepupuku sendiri. Sudah kunyatakan rasa ini.

Cinta A2I

"Mau aja ngantri panjang cuma buat beli makanan. Sudah kita yang bayar. Nunggu lama. Antri lagi. Bikin repot. Dan gak sama kayak namanya 'cepat saji'. Gak cepat saji di meja kita." Omel Agri yang sedang duduk santai di meja makan sebelah kiri antrian di restoran cepat saji. Tepatnya yang akan Ia santap.
"Karena mereka suka." Balas Intan datar.
"Suka? Atau butuh?"
"Mungkin keduanya."
"Apa bisa kusamakan dengan kisah cinta kita?"
"Maksudmu?"
"Rela menunggu karena suka dan butuh. Atau hanya suka. Dan bisa jadi butuh saja."
Intan memilih diam. Dan mengabaikan pertanyaan Agri.
"Kamu suka? Atau butuh?" Tanya Agri lagi.
"Bodoh. Berhentilah bertanya."
"Kamu tahu?"
"Apa?"
"Aku mencintaimu. Bukan karena aku suka dan butuh. Namun, karena aku mencintaimu. Menunggumu menjadi masa depanku. Meraihmu agar menjadi pendamping hidupku. Bukan hanya dalam harap dan doaku saja. Dan bukan sekedar suka atau butuh. Dan bukan hanya untuk dua tahun ini." Jelas Agri sambil menatap tajam pada mata indah kekasih yang Ia cintai.
"Itu hak kamu." Jawab Intan dengan bibir yang sedikit melengkung ke atas.
"Lantas. Bagaimana kamu?"
"Aku suka. Dan butuh. Jika aku tak lagi menyukaimu. Maka aku tak akan lagi membutuhkanmu, Agri."
"Jadi..."
Belum sempat mereka menyelesaikan perbincangan...
"Chicken Fillet -nya, istriku." Argi menyerahkan makanan favorit istrinya. Yang setahun ini menemani hidupnya.
"Setelah setahun ini kalian tidak bertemu. Sepertinya kamu dan saudara kembarku terlibat dalam pembicaraan yang mengasikkan sayang."
"Hanya pembicaraan biasa. Tentang kisah cinta Intan, Argi."

Cerita kasih pada Muhammadku

Cinta itu katanya berawal dari perkenalan. Berlanjut pada obrolan ringan dan memahami saling kepribadian.
Katanya kasih berjalan lurus dengan pertemuan rasa yang seimbang. Menyetarakan komunikasi. Agar perasaan tetap utuh dan tak teringkari.
Menghabiskan waktu dalam cengkrama dan kata-kata sederhana, atau sekedar berdendang melantunkan lagu berirama cinta dari dasar hati. Mampu mengkokohkan rasa yang begitu berarti.
Cinta tak terbalas. Diibaratkan luka mendalam yang menyesakkan jiwa. Membawa pada air mata dan kesepian. Menenggelamkan pada patah yang tak terlihat. Lantas, hidup menjadi enggan.
Semua makna itu. Tergambar jelas. Pada cinta atas nama dunia.
Karena sejatinya, seorang pemuda tak menyimbolkan semua itu. Pemuda sorotan dunia. Manusia penuh cinta dan ketulusan. Kukuh menjadi hidup bagi manusia masa membuka mata. Lelaki kecintaan kalangan pemuja Ilahi. Harum namanya mengalahkan RA. Kartini bagi insan wanita.
Muhammad.saw bukan sekedar nama. Namun ukiran hati dengan darah kesucian yang melingkar nyata pada setiap umatnya.
Jika ditanya, seberapa besar cintanya? Apakah cintanya tak bermateri? Mungkinkah cintanya tak terbalas? Semua tergambar jelas pada mata setiap nyawa yang masih mampu bernafas. Karena dalam setiap nafas itu adakah terbisik nama sederhana. Yang dengan menjalani waktu akan terkubur oleh perangai manusia dusta.
Wahai Muhammad, pemuda yang kucinta. Sejatinya, namamu bukan hanya kulafaskan dalam temuku pada Rabb. Namun ikut dalam setiap gerakan langkahku. Helaan nafasku. Dan kerdipan.mataku menatap dunia fana ini. Walau khilafku, seringkali membutakan aku. Akan tingkahmu yang begitu mementingkan aku hingga akhir hayatmu. Maaf tercurah kala aku membuka kelopak mata hati, akan kekuranganku yang sering meluangkan waktu lebih pada lelaki haramku. Dan telah menyita waktu kasihmu bersamaku.
Maafkan aku. Muhammadku.
Palembang, 12 Rabiul Awal 1434H
Arlia Rizky Pratiwi
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS