"Jihan?? Kamu dimana? Cepat ke
Rumah sakit Charitas sekarang,
Mama sedang sekarat.."
Tiba-tiba sebuah pesan
menghampiri handphone ku saat
aku masih asik berkutat dengan
tugas-tugasku di kampus. Setelah
membaca pesan itu. Ku tancapkan
kendaraan roda dua yang telah
bersahabat dengan ku sejak aku
masih berseragam putih abu-abu.
Sesampainya disana, aku melihat
sosok yang tak asing bagiku dan
menghampirinya dengan
kecemasan. “Deni.. Gimana
mama?? Ayah
mana??” tanya ku cemas pada adik
bungsuku.
“Mama masih di dalam, Ayah
masih dijalan menuju kesini”
Jelas Deni. Beberapa menit
kemudian, seorang
lelaki berkacamata dengan seragam
putih keprofesian miliknya,
menghampiri kami dengan gurat
wajah yang tidak kami sukai. Ia
mendekat dan menghelakan nafas
berat.
“Maaf kalian keluarga dari bu
Ratih?” Tanya Dokter dengan
seksama.
“iya Dok” Ceplos ku.
“Mana ayah kalian?”
“Masih di rumah dan menuju
kesini Dok, Bagaimana kabar
mama kami?” Hal ini yang terus
menganjal di hatiku.
“Beliau masih sekarat dan belum
sadarkan diri. Sepertinya Beliau
mengalami keracunan yang telah
berhasil menjalar ke dalam
pembuluh darahnya, kami akan
berusaha semampu kami, teruslah
berdoa”
“Tolong selamatkan Mama kami
Dok, Kami mohon!!” Gurat
kesedihan sangat jelas dimata
Deni. Dengan airmata, Deni
terduduk lemas dilantai seraya
berharap penuh pada keajaiban
dan Tuhan.
***
Tak lama kemudian Dokter
kembali menghampiri kami.
“Dok bagaimana??”
“Maafkan kami, semua telah kami
coba lakukan, namun Tuhan
berkehendak lain..”
Kata-kata ini membuat tubuh kami
melemas dan sangat mengerti arti
ucapan sang Dokter. Ayah segera
datang dan begitu histeris melihat
Mama telah terbujur tanpa Ruh
dan memejamkan mata selamanya.
***
Aku bergegas kembali kerumah
untuk mempersiapkan semuanya,
pemakaman Mama. Namun
sebelumnya, Ku masuki
setiap sudut rumahku. Mengenang
semua hal yang pernah terjadi di
sini. Hingga tepat di sebuah ruang
keluarga,
kudapati sebuah foto wanita yang
baru saja meninggalkan kami.
Airmata ku mengalir deras dan
rasanya ingin ku teriak
membebaskan sakit dalam dada
ku. Bergemuruh penyesalan dan
menghujamku. Menderita dalam
kepalsuan walau lega juga menjadi
teman. Dalam sadar dan di hati ku
berkata..
“Seandainya Mama tak pernah
datang dan menggantikan Bunda,
Seandainya Bunda tak terluka dan
memutuskan mengakhiri hidupnya
yang menderita sejak kedatangan
Mama disisi Ayah, Aku tak akan
pernah membuat Mama menemani
Bunda di surga,, Maafkan aku
Mama... Maaf...”
***END***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar