Dunia aku

Minggu, 02 Desember 2012

Banyak hal yang belum dan tidak dipahami di dunia ini. Menata kembali detik yang berlalu. Bagai pedang tajam yang menghujam diri. Hingga jatuh pada kehadiran sepi berbalut mimpi. Harapan jelas terus terajut dan menyatu. Bagai mencapai suatu keinginan baru. Menghangatkan ketika sudah terajut utuh, digunakan untuk menemani detik-detik selanjutnya.
Beberapa hari ini, aku memikirkan banyak hal. Tentang semua kisah yang menenggelamkanku pada kegelapan. Tentang kisah patah yang sulit untuk kusambung kembali.
Tentang penantian dan harapan yang tak kunjung berlabuh. Atau tentang tawa renyah, namun berbalut duri tajam yang membunuh hati.
Saat ini, aku terbaring dengan jari-jari yang terus menari menuliskan secara gamblang tentang keluh kesah diri. Jelas. Meratapi hari kosong tanpa ada sentuhan, pelukan erat atau kata mesra tentang kehidupan.
Menjalani hari seakan hanya sebagai kewajiban menuntaskan diri di muka bumi yang munafik ini. Mencari alibi agar terlihat suci. Senyum sana sini untuk mendapat puji. Berkata indah dan benar (katanya) agar memperoleh simpati. Atau mengeluarkan air mata sesuka hati untuk meraih empati. Memperlihatkan diri dengan segala bentuk hal yang dimiliki. Yang bertopeng kepercayaan diri. Berlagak sebagai Tuhan bagi diri sendiri. Keegoisan malah dianggap sebagai sahabat sejati. Kekayaan dan harta yang didapatkan malah hanya menambah koleksi benda mati. Yang tak akan ikut terkubur saat mata terpejam nanti.
Hidup ini panggung sandiwara. Seakan dialog dan naskah telah terbuat dan tersusun rapi. Skenario kehidupan yang terkonsep oleh Sang Sutradara Dunia. Dan selanjutnya pemeran yang berimprovisasi. Membuat bumbu-bumbu baru menghiasi jalannya cerita dan membuat akhirnya sendiri.
Saat ini, aku terbaring rapi dengan jemari yang tetap menari mengikuti alunan emosi mencurahkan semua dalam tulisan sederhana yang tak berarti. Kesadaran akan hidup dan mati. Ada dan tiada. Benar dan salah. Baik dan buruk. Serta pertemuan dan perpisahan. Tak membuat diri ini menyadari bahwa semua itu sama. Semua manusia di dunia, menjalani hal yang sama walau dengan cara yang tak persis sama. Kisah cinta pertama pada masa labil. Pertengkaran kecil tentang persahabatan yang tak hakiki. Perpisahan setelah perselingkuhan yang menciptakan benci. Atau tentang cinta yang tak terbalas atau memilih memendamnya rapat dalam hati. Kisah kehidupan semua serupa tapi tak sama. Hanya saja semua menjadi berbeda, di kala manusia tersebut yang membuatnya berbeda. Malam ini, saat kutuliskan semua ini. Aku juga memahami. Bahwa perbedaan bukan hal yang menciptakan benci. Persamaan bukan hal yang memperindah hari. Namun semua terajut dengan baik, ketika kita mampu menghargai. Menilai positif dari segala hal terkecil yang dimiliki orang lain. Menghargai arti kasih. Memberi tulus tentang kebahagiaan. Serta menggenggam erat sebuah rasa yang menyejukkan. Tulisan ini bukan hanya sekedar sapaan kecil untuk diriku sendiri. Namun lebih kepada suatu bentuk instropeksi diri. Setiap hari yang telah kekal menjadi masa lalu. Tak dapat kuputar kembali walau kukerahkan segala nyawa dan nafasku. 21 tahun berlalu. Aku yang saat ini menatap tajam pada keyboard peneman hariku ini. Adalah aku karena keputusanku kemarin. Aku yang menghujam hari untuk aku yang egois. Dan aku yang mencoba untuk terus memahami diriku sendiri. Dengan bantuan peran-peran manusia yang menjadi figuran dalam hidupku.
Begitu banyak maaf dan terima kasih yang harus kuucapkan dalam setiap celak kecil dalam segala sisi hidupku. Pada tubuh yang masih bertahan atas sikap zhalim dan penyiksaan yang selalu kulakukan demi memuaskan aktivitas keinginanku. Kepada hari yang terus kuhiraukan karena rasa santai berlebihan ketika melihat masih sangat banyak tanggal yang akan kulewati esok hari. Atau pada setiap orang yang pernah menjadi masa lalu, masa sekarang atau masa depanku nanti. Aku kini mungkin bukan aku yang dulu. Aku juga pasti bukan aku yang akan datang. Namun aku adalah aku, yang tetap akan berjalan pada poros kehidupanku. Dan akan menarik segala hal-hal yang kubutuhkan dalam atmosfer kehidupanku. Dengan alasan melengkapi buku harian kehidupanku. Hingga akhirnya, Tuhan memutuskan kebahagiaan yang berbeda dengan mengambilku ke sisi-Nya. Nanti. Dan aku tak akan sekedar jadi abu atau nisan yang tertulis di atas batu. Aku akan terukir lekat pada setiap hati orang yang pernah kutulis terang dalam buku harian hidupku. Amin. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS