Surat Kecil Seorang Anak

Senin, 10 Desember 2012

Hari yang begitu sulit untuk digambarkan secara terang. Aku yang terus mencoba memahami arti kebersamaan yang penuh cinta. Kekuatan kasih tulus berada dalam lingkaran yang mana? Pertanyaan ini terus bergelantungan dalam pikiranku. Saat sebuah ikatan terdekat malah akan terhambur bebas dan bisa saja akhirnya menganggap asing orang-orang yang telah terikat darah.
Aku kini mengenang masa itu. Dimana hanya ada senyum gamblang dari putri kecil lugu yang cukup memahami kebahagiaan. Tangis ada hanya untuk sebuah keegoisan atau rengek-an sebuah permintaan. Aku ingat saat pelukan-pelukan hangat menyambar tubuh mungilku dan mengajakku pada sebuah perjalanan mengasikkan. Menciptakan kenangan manis yang patut untuk terus diingat. Semua terpampang jelas dalam benakku. Kerinduan mendalam akan peristiwa singkat masa kecil. Karena kepekatan rasa sakit yang kini memuncak dalam hatiku.
Kebersamaan itu yang terus menjadi penantian kini. Saat cinta begitu mengalir deras dengan kata dan sikap bersama. Dengan tingkat keegoisan lemah, sehingga yang berada di puncak hanya pengertian. Ketika kata-kata kasar menjadi asing terdengar. Ketika amarah hanya sekedar pengingat bukan menjadi kebiasaan yang melekat. Aku merindukan segala peristiwa istimewa akan sebuah pelukan hangat keluarga. Bukan cacian penggelap angan dan jiwa. Seakan memberi izin pada kematian untuk menggerogoti lembut tubuh dan hati ini. Semua nyata. Sulit untuk kutolak. Sulit kutendang jauh dari sisi. Waktu saksi kehidupan yang begitu tertawa melihat keadaan yang mencekamku saat ini. Akankah pertahanan yang kukuatkan akan meroboh pada titik akhir? Melemah dan menyerah. Hingga arti "mempertahankan" bukan tentang karena masih cinta. Tapi karena malu di hadapan dunia? Aku merindukan kasih tulus tanpa cercaan. Aku membutuhkan sambutan hangat tangan yang selalu membelaiku saat kuterlelap. Aku merindukan gelak tawa bersama dengan kehangatan. Sesungguhnya naluri seorang anak tak pernah mengharapkan perpisahan dalam tatapan mata kedua orang tuanya. Bukan sorot mata kebencian dan cacian panas yang membuat anak menjadi pusat keterpurukan. Menjadi korban paling pas untuk keegoisan dan ketidakpedulian. Lihat kami. Lihat kami wahai orang dewasa. Kami ada karena cinta. Karena sebuah ikatan sah dan kebersamaan. Buat terikat dalam kebencian. Lantas. Ketika kami beranjak. Apa tak bisa tetap mempertahankan cinta itu? Sekedar mempertahankan walau tak menjadi lebih? Memberikan sorot kasih bukan kecurigaan dan kekasaran pada naluri. Telinga kami telah lelah menuruti cemoohan kalian. Mata kami telah lelah menatap kekasaran yang berasal dari orang terkasih. Air mata kami telah menjadi darah atas semua sesak di dalam jiwa. Tubuh kami telah melemah karena harus menghalangi setiap pertengkaran. Lihatlah kami wahai orang dewasa. Lihatlah kami hasil buah kasih kalian yang seolah selalu kalian banggakan dihadapan manusia lain. Lihatlah kami ketika kami berlutut mengharap kasih kembali oleh kalian. Lihatlah kami dan tatap air mata darah kami yang begitu pekat dengan keterpurukan. Jangan bunuh harapan kami dengan perpisahan. Jangan musnahkan impian kami dengan permusuhan. Kami hanya meminta pelukan hangat keduanya. Bukan memilih salah satu. Atau mencoba berdiri dengan kaki sendiri walau kami mampu.
Berikan kami kesempatan memiliki keutuhan keluarga hingga perpisahan bukan karena INGIN tapi karena HARUS.

Surat Kecil Seorang Anak :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS